Teori Agensi dan Corporate Governance: Konsep, Prinsip, Tujuan

Dalam dinamika bisnis modern, pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Kondisi ini menuntut adanya hubungan kerja yang terstruktur antara pemegang saham sebagai pemilik perusahaan dan manajemen sebagai pihak yang bertanggung jawab atas operasional perusahaan.

Perbedaan peran, kepentingan, serta tingkat informasi yang dimiliki oleh masing-masing pihak kerap menimbulkan potensi konflik yang dapat berdampak pada kinerja dan keberlanjutan perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan suatu kerangka konseptual yang mampu menjelaskan sekaligus mengelola hubungan tersebut secara efektif. Hubungan antara pemegang saham dan manajemen sering kali diwarnai oleh perbedaan pandangan dalam pengambilan keputusan.

Pemegang saham sebagai prinsipal umumnya berorientasi pada peningkatan nilai perusahaan, sementara manajemen sebagai agen memiliki kepentingan operasional dan personal yang tidak selalu sejalan. Perbedaan kepentingan inilah yang berpotensi memicu konflik keagenan.

Teori agensi hadir sebagai pendekatan yang berupaya menjelaskan hubungan tersebut serta menawarkan solusi untuk meminimalkan konflik antara prinsipal dan agen melalui mekanisme pengawasan dan tata kelola perusahaan yang baik.

Berikut penjelasan lebih jauh tentang teori agensi dan corporate governance: konsep, prinsip, tujuannya yang bisa kamu ketahui:

Pengertian Teori Agensi

Pengertian Teori Agensi
Pengertian Teori Agensi

Teori agensi (agency theory) menjelaskan hubungan kerja antara dua pihak, yaitu pemilik perusahaan atau pemegang saham sebagai prinsipal dan pihak manajemen sebagai agen. Teori ini muncul ketika prinsipal mendelegasikan wewenang pengelolaan perusahaan kepada agen untuk menjalankan kegiatan operasional atas nama pemilik. Dengan demikian, prinsipal dan agen merupakan dua pihak yang terpisah dengan peran, tugas, dan tanggung jawab masing-masing.

Menurut Jensen dan Meckling (1976), teori keagenan merupakan suatu kontrak yang menggambarkan hubungan antara satu atau lebih pihak (prinsipal) dengan pihak lain (agen), di mana agen diberi kewenangan untuk mengambil keputusan demi kepentingan prinsipal. Dalam hubungan ini, prinsipal memiliki kewajiban memberikan imbalan kepada agen atas jasa dan tanggung jawab yang telah dijalankan.

Permasalahan agensi timbul ketika terjadi pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Agen sebagai pihak yang menjalankan perusahaan umumnya memiliki informasi yang lebih lengkap mengenai kondisi dan operasional perusahaan dibandingkan prinsipal. Kondisi ini disebut sebagai asimetri informasi, yang dapat memicu tindakan agen yang tidak sepenuhnya sejalan dengan kepentingan prinsipal.

Selain itu, konflik keagenan juga disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara kedua pihak. Prinsipal pada umumnya berorientasi pada peningkatan nilai perusahaan dan perolehan laba sebesar-besarnya dengan risiko yang terkendali. Sementara itu, agen cenderung berupaya memaksimalkan kepentingan pribadi, seperti memperoleh bonus, insentif, atau keuntungan jangka pendek, meskipun berpotensi meningkatkan risiko perusahaan.

Seiring dengan perkembangan perusahaan yang semakin besar dan kompleks, konflik antara pemilik dan manajemen semakin sering terjadi. Pemisahan fungsi kepemilikan dan pengendalian dalam perusahaan menjadi salah satu faktor utama yang memicu konflik kepentingan atau konflik keagenan. Konflik ini dapat menghambat pencapaian kinerja perusahaan yang optimal dan berdampak pada penurunan nilai perusahaan serta kepentingan para pemegang saham.

Pengertian Teori Agensi Menurut Para Ahli

1. Scott

Menurut Scott, salah satu cabang dari game theory adalah teori keagenan. Teori ini menelisik mengenai rumusan kontrak yang berguna untuk memberikan dorongan pada manajemen dengan basis akal sehat sehingga mereka dapat bekerja tanpa melenceng dari tujuan yang ditetapkan prinsipal.

2. Jensen dan Meckling

Kedua ahli ini membeberkan bahwa dalam teori ini organisasi adalah rangkaian kontrak antara prinsipal dengan agen. Dalam hal ini prinsipal berfungsi sebagai pemilik dari sumber daya ekonomi, sedangkan manajemen berfungsi sebagai pihak yang melakukan pengurusan persoalan pemakaian sumber yang dimiliki prinsipal tersebut.

3. Eisenhardt

Teori keagenan menurut Eisenhardt merupakan keterikatan yang merefleksikan rangka dasar keagenan antara pemilik saham dengan manajemen dalam tingkah laku yang bisa diajak untuk bekerja sama. Walaupun bisa kooperatif, namun kedua belah pihak mempunyai tujuan dan sikap yang berbeda. Titik pusat dari teori ini ialah penentuan kontrak yang dinilai paling efektif.

Hubungan Keagenan

Dalam praktik bisnis, hubungan keagenan terjadi ketika satu pihak (prinsipal) memberikan wewenang kepada pihak lain (agen) untuk mengambil keputusan dan mengelola sumber daya atas nama prinsipal. Ghozali dan Chariri menjelaskan bahwa hubungan keagenan dapat muncul dalam beberapa bentuk, tergantung pada pihak-pihak yang terlibat dan kepentingan masing-masing.

Pertama, hubungan antara pemegang saham sebagai pemilik dengan manajemen sebagai pengelola perusahaan. Ketika manajemen memiliki porsi kepemilikan saham yang relatif kecil dibandingkan pemegang saham, manajer cenderung menyajikan laporan laba yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kinerja yang baik dan memenuhi ekspektasi pemilik perusahaan.

Kedua, hubungan antara manajemen dan kreditur. Dalam hubungan ini, manajemen sering kali melaporkan laba yang lebih tinggi karena kreditur umumnya menilai perusahaan dengan laba besar sebagai pihak yang memiliki kemampuan lebih baik dalam melunasi utang beserta bunganya saat jatuh tempo.

Ketiga, hubungan antara manajemen dan pemerintah. Berbeda dengan dua hubungan sebelumnya, manajer cenderung menyajikan laporan laba secara lebih konservatif. Tujuannya adalah untuk menghindari pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah, analis sekuritas, serta pihak-pihak berkepentingan lainnya. Hal ini terutama berlaku bagi perusahaan besar yang biasanya menghadapi berbagai konsekuensi regulasi dan pengawasan yang lebih kompleks.

Asumsi-Asumsi Teori Agensi

1. Asumsi tentang Sifat Manusia

Pada dasarnya manusia memiliki tiga sifat yang paling mendasar. Sifat pertama adalah lebih mengutamakan dirinya sendiri dibandingkan pihak lain. Sifat kedua adalah mempunyai pemikiran rasional yang terbatas. Sedangkan sifat yang ketiga adalah menghindari risiko.

2. Asumsi tentang Keorganisasian

Dalam sebuah organisasi atau perusahaan pasti akan terjadi sengketa yang terjadi antar individu atau unit di dalamnya. Selain itu produktivitas kinerja akan selalu dinilai berdasarkan efisiensi dan timbulnya ketidaksimetrisan informasi antara pemegang saham dan manajemen.

3. Asumsi tentang Informasi

Informasi dalam asumsi tentang informasi merupakan sebuah komoditas yang bisa diperdagangkan.

Masalah dalam Teori Agensi

1. Agen Mengambil Keputusan Berdasarkan Kepentingan Pribadi

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa pada dasarnya sifat manusia adalah mementingkan kepentingannya terlebih dahulu dibandingkan dengan pihak lain. Hal ini juga berlaku di dalam perusahaan.

Perbedaan tujuan antara pemegang saham dengan manajemen dapat menimbulkan conflict of interest yang bisa saja merugikan satu atau kedua belah pihak. Adapun masalah yang sering timbul adalah:

  • Kerugian pemegang saham atas tindakan manajemen
  • Administrator atau manajemen bisa melakukan rekruitmen berdasarkan pola kolusi maupun nepotisme
  • Manajemen dapat membuat kerugian dengan tidak menyudahi kontrak dengan staf yang tidak kompeten
  • Kerugian dari data laporan yang dipalsukan oleh pihak manajemen
  • Pengeluaran yang lebih besar daripada pemasukan yang dilakukan oleh manajemen

Berdasarkan pertimbangan akan masalah yang bisa ditimbulkan, maka wajib dilakukan pengawasan terhadap wewenang yang dimiliki oleh manajemen.

Ada tiga jenis gesekan yang bisa timbul di dalam sebuah perusahaan:

  • Prinsipal >< agen
  • Prinsipal >< kreditur
  • Agen >< staf

2. Informasi yang Tidak Simetris

Keadaan ideal yang diinginkan oleh semua pihak tentu adalah tersedianya informasi yang sama detail untuk prinsipal maupun agen. Namun pada kenyataanya, prinsipal memiliki data yang lebih sedikit dibandingkan dengan pihak manajemen.

Hal ini disebabkan pemegang saham sebagai prinsipal lebih mengedepankan wawasan jangka panjang sedangkan manajemen lah yang menghadapi persoalan sehari-hari perusahaan. perbedaan detail informasi yang dimiliki inilah yang sering menimbulkan kesalahpahaman.

Pihak administrator bisa saja berlaku curang dengan menyembunyikan informasi yang mereka miliki demi kepentingannya. Penyembunyian dan manipulasi data perusahaan dengan sengaja tentunya akan membawa keuntungan untuk manajemen.

Prinsipal pun bisa saja selalu curiga dan mengawasi kinerja agennya sehingga menimbulkan konflik. Asimetri informasi semacam inilah yang seringkali memicu terjadinya masalah keagenan di dalam sebuah perusahaan.

Cara Mengatasi Masalah Teori Agensi

  • Menyelaraskan kepentingan agen
  • Adanya penghargaan untuk agen
  • Penerbitan hukuman atas pelanggaran yang dilakukan
  • Mengawasi dengan cara GCG atau Good Corporate Governance
  • Asal modal perusahaan bisa didapatkan dari utang
  • Prinsipal dapat melakukan campur tangan secara eksklusif
  • Institusi dapat menaikkan saham yang dimiliki

Prinsip-Prinsip Corporate Governance

Corporate governance merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan hubungan antara pemegang saham, manajemen, dewan komisaris, serta para pemangku kepentingan lainnya. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merumuskan prinsip-prinsip utama corporate governance sebagai pedoman untuk menciptakan tata kelola perusahaan yang sehat, transparan, dan berkelanjutan.

Secara umum, prinsip-prinsip corporate governance menurut OECD meliputi beberapa unsur berikut.

1. Keadilan (Fairness)

Prinsip keadilan menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Perusahaan harus memastikan adanya perlakuan yang setara serta menjunjung komitmen dan kepercayaan investor.

2. Transparansi (Transparency)

Perusahaan wajib menyediakan informasi yang relevan, akurat, jelas, dan tepat waktu terkait kondisi keuangan, kinerja, pengelolaan, serta struktur kepemilikan perusahaan. Keterbukaan informasi ini bertujuan agar para pemangku kepentingan dapat mengambil keputusan secara tepat dan objektif.

3. Akuntabilitas (Accountability)

Prinsip ini menekankan kejelasan fungsi, peran, dan tanggung jawab setiap organ perusahaan. Dewan komisaris memiliki peran penting dalam mengawasi kinerja manajemen agar tercipta keseimbangan kepentingan antara pemegang saham dan pengelola perusahaan.

4. Pertanggungjawaban (Responsibility)

Perusahaan harus mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Prinsip ini mencerminkan komitmen perusahaan terhadap nilai-nilai etika, hukum, dan keberlanjutan.

Selain itu, OECD juga menekankan beberapa aspek pendukung dalam penerapan corporate governance, yaitu:

  • Perlindungan hak-hak pemegang saham, termasuk hak memperoleh informasi, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan strategis, dan menerima bagian keuntungan perusahaan.
  • Perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham, terutama dalam hal akses informasi dan perlindungan dari praktik yang merugikan.
  • Pengakuan terhadap peran para pemangku kepentingan (stakeholders) sesuai dengan ketentuan hukum, serta mendorong kerja sama aktif antara perusahaan dan stakeholder dalam mencapai tujuan perusahaan.
  • Pengawasan yang efektif oleh dewan komisaris, guna memastikan arah strategis perusahaan berjalan dengan baik dan manajemen bertindak sesuai kepentingan perusahaan dan pemegang saham.

Tujuan Corporate Governance

Penerapan good corporate governance (GCG) memiliki tujuan strategis untuk memastikan perusahaan dikelola secara profesional, transparan, dan bertanggung jawab. Wardani menjelaskan bahwa penerapan prinsip-prinsip GCG secara konkret memberikan berbagai manfaat penting bagi perusahaan.

Pertama, corporate governance mempermudah perusahaan dalam mengakses sumber pendanaan, baik dari investor domestik maupun asing. Tata kelola yang baik meningkatkan kredibilitas perusahaan sehingga investor lebih percaya untuk menanamkan modalnya. Kedua, perusahaan berpeluang memperoleh cost of capital yang lebih rendah karena tingkat risiko yang dipersepsikan investor menjadi lebih kecil.

Selain itu, corporate governance membantu manajemen dalam mengambil keputusan yang lebih tepat dan rasional, sehingga mampu meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan secara berkelanjutan. Penerapan GCG juga berperan dalam meningkatkan kepercayaan dan keyakinan para pemangku kepentingan (stakeholders), seperti pemegang saham, kreditur, karyawan, dan masyarakat. Di sisi lain, tata kelola yang baik dapat melindungi direksi dan dewan komisaris dari risiko tuntutan hukum akibat keputusan yang diambil telah sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan peraturan yang berlaku.

Sejalan dengan itu, Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) menyatakan bahwa tujuan utama corporate governance adalah menciptakan nilai tambah bagi seluruh pihak yang berkepentingan. Corporate governance berfungsi untuk mengatur hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi agar masing-masing pihak menjalankan peran dan tanggung jawabnya secara seimbang.

Lebih lanjut, corporate governance bertujuan mencegah terjadinya kesalahan yang signifikan dalam perumusan dan pelaksanaan strategi perusahaan. Dalam konteks ini, korporasi dipandang sebagai mekanisme yang memungkinkan berbagai pihak memberikan kontribusi, baik berupa modal, keahlian, maupun tenaga kerja, demi mencapai manfaat bersama. Selain itu, sistem tata kelola yang baik juga memastikan bahwa setiap kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dapat segera diidentifikasi dan diperbaiki, sehingga tidak menimbulkan dampak yang merugikan perusahaan dalam jangka panjang.

Mekanisme Corporate Governance

Mekanisme corporate governance merupakan serangkaian cara kerja yang tersusun secara sistematis untuk memastikan bahwa pengelolaan perusahaan berjalan sesuai dengan tujuan dan kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholders). Mekanisme ini berfungsi mengatur hubungan serta pembagian peran yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dan pihak yang melakukan pengawasan terhadap keputusan tersebut.

Pada dasarnya, setiap tindakan manajemen harus selaras dengan kepentingan stakeholders dan diarahkan untuk menciptakan nilai jangka panjang bagi perusahaan. Herawaty mengelompokkan mekanisme corporate governance ke dalam dua jenis utama, yaitu mekanisme internal dan mekanisme eksternal.

1. Mekanisme Internal (Internal Mechanism)

Mekanisme internal adalah cara pengendalian perusahaan yang dilakukan melalui struktur dan proses yang berasal dari dalam organisasi. Mekanisme ini bertujuan memastikan bahwa manajemen menjalankan perusahaan secara transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab. Contoh mekanisme internal meliputi komposisi dan peran dewan direksi serta dewan komisaris, kepemilikan saham oleh manajemen, serta sistem kompensasi eksekutif yang dirancang untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham.

2. Mekanisme Eksternal (External Mechanism)

Mekanisme eksternal merupakan bentuk pengawasan dan pengendalian perusahaan yang berasal dari luar organisasi. Mekanisme ini berperan sebagai alat penyeimbang apabila mekanisme internal belum berjalan secara optimal. Contoh mekanisme eksternal antara lain pengawasan oleh pasar modal, penggunaan pendanaan berbasis utang (debt financing), peran investor, auditor independen atau akuntan publik, serta penerapan peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku.

Kesimpulan

Teori agensi menjelaskan hubungan kontraktual antara pemilik perusahaan (prinsipal) dan manajemen (agen) yang muncul akibat pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Pemisahan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena masing-masing pihak memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda. Prinsipal berorientasi pada peningkatan nilai perusahaan dan keuntungan jangka panjang, sementara agen cenderung mengejar kepentingan pribadi seperti insentif, bonus, dan keuntungan jangka pendek. Perbedaan kepentingan tersebut diperparah oleh adanya asimetri informasi, di mana manajemen memiliki informasi yang lebih lengkap dibandingkan pemilik.

Konflik keagenan dapat berdampak negatif terhadap kinerja dan nilai perusahaan apabila tidak dikelola dengan baik. Berbagai masalah, seperti pengambilan keputusan yang tidak optimal, manipulasi informasi, hingga penyalahgunaan wewenang, berpotensi muncul dan merugikan pemegang saham serta pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pengendalian yang mampu menyelaraskan kepentingan antara prinsipal dan agen.

Corporate governance hadir sebagai solusi penting untuk meminimalkan konflik keagenan tersebut. Melalui penerapan prinsip-prinsip good corporate governance keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban perusahaan dapat menciptakan sistem pengelolaan yang sehat, profesional, dan berkelanjutan. Tujuan utama corporate governance adalah menciptakan nilai tambah bagi seluruh pemangku kepentingan, meningkatkan kepercayaan investor, memperbaiki kualitas pengambilan keputusan, serta melindungi perusahaan dari risiko hukum dan operasional.

Penerapan mekanisme corporate governance, baik internal maupun eksternal, menjadi kunci dalam mengawasi dan mengarahkan tindakan manajemen agar tetap sejalan dengan kepentingan perusahaan. Dengan tata kelola yang baik, konflik keagenan dapat ditekan, kinerja perusahaan dapat ditingkatkan, dan tujuan jangka panjang perusahaan serta pemegang saham dapat tercapai secara optimal. Ketahui tentang apa itu globalisasi ekonomi untuk menambah pengetahuanmu!